![]() |
Keluarga Besar Ria Rago, menunjukan bukti sejarah sebagai tonggak sejarah perflman di Indonesia |
Ende,Kelimutu Pos
Perjalanan panjang sejak tahun 1923, hingga lahirnya film bisu pertama, sudah tertulis rapih didalam lembaran sejarah. Hadirnya film bisu pertama dengan judul " Ria Rago" sebagai tonggak baru bagi dunia perfilman di Indonesia. Sayangnya, niat baik Pemprov NTT, membangun monumen perfilman, sebagai napak tilas sejarah perfilman di Indonesia, mengabaikan keluarga besar garis keturunan Ria Rago.
Kekecewaan tersebut disampaikan sejumlah keturunan langsung Ria Rago, melalui salah satu perwakilan keluarga, Emanuel Baru Wawa, saat menggelar jumpa pers dikediamannya, Jalan Nangka, Ende, NTT, Selasa,1 Juli 2025.
Menurut Emanuel Waru Wawa, sebagai salah satu keturunan langsung dari Ria Rago, merasa kecewa dengan tim dari Pemprov NTT. Kehadiran mereka dalam kaitan dengan rencana pembangunan monumen atau tugu perfilman di Koja Kanga, Dusun Nua Nelu, Desa Manulondo, Ende. Namun kehadiran tim tersebut tidak menghargai keberadaan keluarga besar Ria Rago, dan terkesan ingin merubah catatan sejarah yang sudah tertulis rapih.

"Sebagai perwakilan keluarga dari garis keturunan langsung Ria Rago, kami meresa sangat kecewa. Sebagai ahliwaris langsung dari pahlawan perempuan pertama di Ndona (Kecamatan Ndona), sekaligus sebagai pemeran utama dalam film bisu pertama "Ria Rago", peran dan keberadaan kami sudah diabaikan. Ini yang membuat kekuarga besar Ria Rago dan ahliwaris, kecewa dengan sikap dari tim utusan Gubernur NTT." tegas Emanuel Baru Wawa.
Masih menurut Emanuel Waru Wawa, dalam kehidupan keseharian, segala aktivitas masyarakat selalu berkomunikasi dengan baik, termasuk dalam urusan adat dan aktivitas lainnya. Namun, kekecewaan dari keluarga besar itu muncul, disaat tim utusan dari Pemprov NTT turun kelokasi dan melakukan pengukuran dilokasi.

"Kami keluarga besar tidak menghalangi niat baik Pemprov NTT, membangun monumen perfilman, di lokasi tempat syuting film perdana Ria Rago. Kami kecewa karena kami dusepelehkan dan peran kami ditiadakan. Perlu dicatat dan dingat, apa yang sudah tertulis dalam catatan sejarah, jangan dirubah lagi. Hargai juga kami selaku pewaris keluarga Ria Rago. Mereka yang datang bersama tim itu punya keterkaitan apa? Kita juga bisa ambil sikap demi nama baik dan keluarga besar Ria Rago." jelas Emanuel Baru Wawa.
Ditambahkannya, sejak tahun 1923, seluruh barang warisan yang menandai sejarah baru perfilman di Indonesia, tersimpan dengan baik dirumah besar. Hampir disetiap.acara syukuran, acara pembangunan rumah, atau acara adat, barang-barang warisan ini dipakai dalam upacara tersebut. Semua berjalan baik dalam nuansa kekeluargaan. Tetapi hanya karena ada niat dari Pemprov NTT, membangun tugu perfilman di lokasi syuting film pertama, keluarga malah ditinggalkan. Anehnya yang datang mendampingi tim malah diluar dari garis keluarga.

"Barang warisan sejarah yang dipakai saat pembuatan film Ria Rago, seperti, sepe-sepe, dulang kuning, tempat minum.moke, keris emas, keris gading, dan foto sejarah dari museum Denhag, masih tersimpan rapih. Ini bukti langsung bagi kami sebagai ahliwaris. Barang - barang ini sering dipakai dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan, sebagai simbol pemersatu. Pesan kami jangan merubah sejarah yang sudah tercatat dengan rapih, karena kami juga akan mengambil sikap sebagai keluarga besar Ria Rago." pungkas Emanuel Baru Wawa.
Untuk diletahui, film bisu pertama dari Ende berjudul "Ria Rago: De Heldin And Het Ndona-Dal" (Ria Rago: Pahlawan dan Lembah Ndona). Film ini diproduksi pada tahun 1923 di Desa Manulondo, Ende, oleh para misionaris Belanda dari SVD, dan dirilis pada tahun 1926. Film ini mengangkat tema kawin paksa dan diperankan oleh Ria Rago, seorang gadis lokal.

Film ini dibuat oleh misionaris Belanda dari Serikat Sabda Allah (SVD) di Desa Manulondo, Ende, mengangkat isu kawin paksa, yang merupakan masalah sosial yang relevan pada saat itu.
Tokoh utama film ini adalah Ria Rago, seorang gadis lokal yang menjadi pemeran utama.
Film ini dirilis pada tahun 1926, meskipun produksinya selesai pada tahun 1923. Film ini dianggap sebagai karya monumental, karena merupakan film bisu pertama yang diproduksi di Indonesia (Hindia Belanda pada masa itu). Film ini menjadi bukti awal perkembangan industri film di Indonesia.(kp/tim)